Mahasiswa merupakan seorang yang belajar di suatu perguruan tinggi, entah itu berupa Sekolah Tinggi, Universitas, Institut, Politeknik maupun Akademi. Julukan kaum terpelajar atau kaum akademik selalu melekat pada mahasiswa. Hal ini dikarenakan mahasiswa tidak akan bisa lepas dari dunia keilmuan. Bagaimana tidak, seorang mahasiswa selalu dituntut untuk mendalami keilmuan dan mengembangkan dirinya di bidangnya masing-masing. Melalui bentuk proses seperti : budaya kajian, diskusi, kepenulisan, penelitian, penalararan dan lain-lain yang berbau ilmiah, seorang mahasiswa dapat mengembangkan dan mendalami keilmuan, dari situlah proses peningkatkan kemampuan intelektualitas terkonstruk. Jiwa intelek inilah yang harus menjadi karakter tersendiri bagi mahasiswa. Mahasiswa identik dengan hal ilmiah maka pantas jika julukan kaum intelek terakomodir dalam diri mahasiswa.
Banyak sebenarnya budaya mahasiswa sebagai kaum intelek, namun hal yang urgent dari budaya ilmiah itu diantaranya Kepenelitian dan Kepenulisan. Penelitian merupakan kegiatan ilmiah melalui proses research artinya perlu adanya pengamatan, dan proses analisis tajam agar mendapatkan hasil yang benar-benar valid dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary yang mengatakan bahwa penelitian adalah penyidikan atau pemeriksaan bersungguh-sungguh, khususnya investigasi atau eksperimen yang bertujuan menemukan dan menafsirkan fakta, revisi atas teori atau dalil yang telah diterima. Kegiatan penelitian ini dirasa sangat perlu bagi mahasiswa karena penelitian merupakan produk akhir dari intelektualitas dan wahana pertanggungjawaban terhadap disiplin ilmu yang dimiliki mahasiswa.
Bagi mayoritas mahasiswa penelitian dilakukan ketika menjalankan tugas akhir S-1 yang disebut skripsi. Hal ini dilakukan karena merupakan sebuah tuntutan jika ingin menjadi sarjana sebagai bentuk aktualisasi jati diri mahasiswa sebagai insan akademik intelektualis. Tak hanya selalu dilakukan pada saat akan skripsi saja sesungguhnya kegiatan seperti ini. Namun bisa juga dilakukan kapan saja demi menumbuhkembangkan perkembangan ilmiah mahasiswa. Hal ini tidak lepas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu : Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat. Yang perlu digarisbawahi adalah penelitian sebagai bentuk aktualisasi kinerja ilmiah dan pertanggungjawaban disiplin ilmu dan pengembangan pada tiap mahasiswa agar menjadi jati diri mahasiswa yang sesungguhnya bukan hanya titlenya saja yang “Mahasiswa”.
Hal kedua yang mem-budaya di kalangan mahasiswa yaitu menulis. Menulis merupakan kegiatan yang memiliki urgensi sebagai wahana aspiratif seseorang. Kepenulisan ada kalanya Fiksi (Non Ilmiah) dan Non Fiksi (Ilmiah). Karya tulis fiksi bisa berupa cerpen, puisi dll, karya tulis non fiksi biasanya berupa karangan hasil dari research atau penelitian namun ada juga karya non fiksi yang timbul dari penalaran, atau opini seseorang seperti artikel, essay, opini dll. Tak ubahnya seperti penelitian menulis juga merupakan salah satu dari budaya mahasiswa sebagai ajang peng-eksplorasi pemikiran dan pendapat entah itu berupa karangan ilmiah maupun ilmiah. Tidak bisa pungkiri kegiatan menuangkan pena di atas kertas ini harus terlekat juga pada diri mahasiswa hal ini tidak lepas dari jati diri mahasiswa sebagai kaum intelek. Menjadikan karya tulis sebagai wahana berkarya baik dalam kegiatan akademik maupun non akademik. Seiring dengan jati dirinya sebagai kaum akademik maka mahasiswa dituntut mampu membuat karya ilmiah entah apapun itu asalkan masuk dalam dunia kepenulisan.
Perubahan zaman memicu perubahan sosial, antropologis mahasiswa. Seperti yang dikemukakan M. Hasanudin Wahid seorang aktifis nasional dan pakar politisi sekaligus dewan ahli DPR-RI, hasil riset membuktikan 25 % mahasiswa Indonesia yang kegiatannya Kuliah, Perpustakaan, Diskusi dan apapun yang berbau ilmiah beliau menyebut mahasiswa ini sebagai “idealis oriented”, dan sisanya, 75% mahasiswa yang kehidupannya kuliah, warung kopi, kantin, kos dan kegiatan akademik nya hanya dienyam di bangku kuliah saja itu pun kadang kala ada yang tidak serius dalam mengikutinya, beliau menyebut mahasiswa ini sebagai “hedonis oriented”. Hal ini membuktikan lunturnya budaya ilmiah mahasiswa. Lalu dimanakah jati dirinya sebagai insan yang akademik dan intelektual. Sangat miris jika perbedaan antara “idealis oriented” lebih kecil persentase nya dibandingkan “hedonis oriented”.
Kehidupan foya-foya telah meracuni mahasiswa sebagai kaum intelektual. Bagaimana pun keadaannya, budaya-budaya ilmiah harus tetap terjaga dalam tiap diri mahasiswa untuk menumbuhkembangkan kembali jati diri mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang sesungguhnya, menjadi “maha” nya para siswa atau orang yang menuntut ilmu dan dapat kembali mengamalkan tri darma perguruan tinggi.
Agar tidak terpengaruh pengaruh budaya-budaya ekstrim yang dapat merusak sistem jati diri sebagai mahasiswa sebenarnya banyak solusi untuk menjaganya. Berkumpul dengan orang-orang yang konglomerat dalam bidang keilmuan berarti menjaga diri agar tidak terpengaruh dari pengaruh budaya hedonisme oriented. Seperti kata dosen saya“Empat tahun ke depan kamu akan tetap seperti ini kecuali tiga : dengan siapa kamu berteman? buku apa yang kamu baca? dan apa yang kamu lakukan?”. Kata-kata itu seolah menginspirasi saya untuk berkembang bukan hanya ilmu yang perlu dicari akan tetapi proses pengembangan diri tak kalah pentingnnya dengan mencari ilmu.
Mulai dari sekarang mari belajar menjadi seorang yang benar-benar Mahasiswa, menjadi Maha-nya para siswa, dan mulai mengembangkan diri agar jati diri seorang mahasiswa dapat tertanam. Maka pentingnya bergelut dalam bidang kepenelitian dan kepenulisan sebagai media penanaman nilai akademisi sebagai kaum intelektual harus kembali tertanamkan. Hal ini harus kembali membudaya dan perlu kembali dibudidayakan sebagai bentuk aktualisasi insan akademik berkarakter intelektual yang merupakan wujud dari kreasi pemuda zaman sekarang.