Rabu, 01 Januari 2014

EKSISTENSI MAHASISWA DI TENGAH DINAMIKA KEBANGSAAN DAN WAJAH BARU PENDIDIKAN KITA

Sumpah Mahasiswa Indonesia, itulah yang menjadi asas kehidupan kaum intelek muda negeri ini. Sebuah penegasan yang berisi ikrar akan prinsip hidup seorang mahasiswa sejati. Penegasan dan sikap mahasiswa terhadap bangsa dan Negara nya yang sekaligus sebagai asas dan pedoman perjuangan mahasiswa dalam mengawal berbagai permasalahan bangsa secara umum dan problematika kampus secara khusus. Merinding tentu saja bagi yang betul-betul menghayati arti dan makna dari ikrar ini, tapi bukan tidak mungkin akan terkesan biasa-biasa saja di telinga orang-orang yang belum menemukan jati diri kemahasiswaannya.

Ada tiga hal yang menjadi sorotan penegasan mahasiswa Indonesia dalam ikrarnya, yakni tanah air tanpa penindasan, bangsa yang gandrung akan keadilan, dan bangsa yang berbahasa satu yaitu bahasa tanpa kebohongan. Ketiga aspek ini juga mewakili tugas dan fungsi mahasiswa sebagai agent of changemoral force, dan social control. Sinkronisasi antara ikrar dan fungsi serta tugas mahasiswa inilah yang menuntut mahasiswa untuk lebih memiliki jiwa kepekaan sosial yang tinggi. Bukan hanya berbuat yang terbaik buat pribadinya tapi terlebih lagi untuk bangsa nya. Apalagi jika mencermati kondisi kekinian bangsa dan negara kita yang semakin tak jelas arahnya.

Rezim pemerintahan SBY-Boediono dianggap gagal oleh banyak kalangan. Pemerintahan yang bersih dan demokratis disinyalir hanyalah impian belaka. Bangsa kita sudah terlalu jauh keluar dari rel yang semestinya. Berbagai kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, korupsi yang semakin merajalela sampai pada praktek mafia di dunia hukum yang sudah membudaya. Aspirasi rakyat kecil seolah-olah hanyalah nyanyian yang semakin membuat wakil-wakil rakyat kita tertidur dalam singgasana ruangan kerja nan mewahnya.

Sedikit menghubungkan antara kondisi realitas kebangsaan dengan harapan yang tertuang dalam ikrar Sumpah Mahasiswa Indonesia, mungkin pembaca sepakat dengan saya untuk mengatakan masih agak jauh dari yang semestinya diharapkan. Pertama, menyinggung masalah tanah air tanpa penindasan. Tanpa penindasan berarti tanpa perampasan hak-hak kemanusiaan. Namun kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai kasus perampasan tanah, kekerasan agraria, dan beberapa kasus pelanggaran HAM. Kedua, terkait dengan bangsa yang menjunjung tinggi keadilan. Keadilan sosial yang juga merupakan amanat dari pembukaan UUD 1945 seolah tak mendapat prioritas dinegeri ini. Hukum dengan begitu mudahnya diperjualbelikan di negara yang notabene nya adalah negara hukum. Belum lagi menyinggung masalah korupsi yang seolah sudah menjadi hegemoni di negara kita. Ketiga, bangsa yang berbahasa tanpa bahasa kebohongan. Mungkin kita semua maklum bahwa negara kita adalah negara yang identik dengan kehidupan sinetron. Terlalu banyak kepura-puraan dan sandiwara yang dipertontonkan khususnya wakil-wakil rakyat kita. Tidak konsisten dalam berprinsip dan tidak teguh pada pendirian dan peraturan sudah menjadi kebiasaan yang lumrah di kalangan penguasa negeri ini. Negara kita tak ubahnya adalah sebuah panggung sandiwara dan rakyat disulap menjadi seorang penonton setia.

Berbicara dalam lingkup dunia pendidikan, kita tak boleh menutup mata terhadap bentuk radikal kampus dan dinamika nya yang menjadi wajah baru pendidikan kita sekarang ini. Fungsi kampus sebagai institusi formal penyedia tenaga kerja siap pakai lebih berorientasi pada kebutuhan pasar kerja ketimbang berkonsentrasi pada kualitas manusia yang di-didik-nya dan seberapa dalam pemahaman mereka terhadap masyarakat sekitarnya. Orientasi ini semata-mata untuk meningkatkan nilai jual universitas di mata konsumen dalam hal ini masyarakat yang ingin memperoleh pendidikan.

Demi memapankan posisinya dalam konfigurasi ekonomi global, perguruan tinggi di Indonesia juga harus mengadopsi aturan main yang cepat atau lambat harus mereka patuhi. Prinsip-prinsip ekonomi kapitalisme disuntikkan dalam tubuh universitas guna memapankan sistem ekonomi yang telah menguasai hampir seluruh dunia ini. Demi memastikan efektifitas proses produksi sarjana serta peningkatan daya jual dan daya saing produknya di pasaran, pihak kampus melakukan berbagai perubahan radikal di dalam tubuh universitas dimana mahasiswa merupakan objek sentral dalam proses perubahan tersebut menuju bentuk baru yang sesuai dengan tuntutan sistem ekonomi modern.

Nah, selanjutnya bagaimana eksistensi mahasiswa dalam mengawal berbagai dinamika kebangsaan dan wajah baru pendidikan kita khususnya untuk mewujudkan tujuan dari ikrar Sumpah Mahasiswa Indonesia itu sendiri? Seperti kita ketahui bahwa kondisi perjuangan mahasiswa sekarang ini memang mengalami berbagai masalah dan problematika di lapangan. Dari segi internal kampus, adanya pengekangan kreatifitas mahasiswa serta ancaman bagi para mahasiswa yang kritis tentunya dianggap sebagai faktor melemahnya pergerakan mahasiswa dewasa ini. Status kemahasiswaan pun terkadang dipertaruhkan hanya untuk mengeluarkan sepatah kata perjuangan. Ironis memang, ketika bangsa ini sedang sakit dan membutuhkan pemikiran-pemikiran kritis generasi muda namun di saat bersamaan itu pula pengekangan terhadap kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat justru semakin membudaya di institusi kampus negeri ini yang notabene nya adalah gudang nya calon intelek muda.

Terlepas dari semua permasalan di atas, kita harus tetap bangga bahwa bangsa kita adalah bangsa yang besar dan itu tak lepas dari peranan generasi muda terutama mahasiswa. Masa depan dunia pendidikan dan tentunya masa depan bangsa kita ada di pundak kita semua. Mahasiswa sebagai agen perubahan sudah seharusnya berpartisipasi aktif dalam pembangunan kebangsaan sebagai pengejawantahan dari tugas dan tanggung jawab sosial mereka. Tugas dan tanggung jawab yang diemban mahasiswa sangat lah berat dalam membawa bangsa ini mengarungi percaturan dunia globalisasi. Kalah melangkah berarti akan tertinggal selamanya. Mahasiswa bersiaplah, masa depan bangsa dan negara bergantung pada langkah dan perubahan yang kita lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar