Rabu, 01 Januari 2014

REKONSTRUKSI PARADIGMA KRITIS DALAM PERGERAKAN MAHASISWA

Sejarah mencatat peran mahasiswa dalam fungsinya sebagai agent of change dan social control dalam kehidupan bermasyarakat, menempatkan mahasiswa sebagai basis intelektual menuju masa depan yang cerah. Peran mahasiswa yang realistis dalam berbangsa dan bernegara telah terukir dalam sejarah Indonesia. Pada hakikatnya, Mahasiswa tidak pernah lepas dari sisi kehidupan yang kritis. Dalam sejarah,  semua pergerakan mahasiswa dilandasi oleh naluri dan cara berpikir yang kritis. Mengapa demikian ? Kita semua mungkin mengetahui keberadaan mahasiswa sebagai salah satu bagian dari masyarakat. Hal ini mengharuskan mahasiswa untuk bisa masuk berpartisipasi dan mengembangkan ilmunya ke masyarakat dan lingkungannya. Mahasiswa diharapkan sebagai pencetus ide sekaligus eksekutor dari idenya, yang kemudian akan berpengaruh pada perubahan budaya, keadaan, atau sistem.

Perubahan bisa terjadi pada segala segi termasuk pola pikir dan pola perilaku. Mahasiswa dalam posisi agent of change dituntut untuk mengimplikasikan segala macam sikap, perilaku, dan pikirannya dalam sebuah bentuk konkrit bukan sesuatu yang abstrak. Menuangkan ide-ide kreatif untuk bisa dimanfaatkan oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Apa yang perlu diperbaiki dari yang sudah ada, atau melakukan perubahan yang bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Mahasiswa sebagai insan akademis, pencipta serta pengabdi masyarakat yang tentunya merupakan aset besar Negara di masa depan pada era sekarang sepertinya telah kehilangan arah gerakan khusunya dalam menentukan orientasi sebagaimana hakikat yang seharusnya. Hal ini sebenarnya bila kita teliti lebih jauh, mahasiswa di era sekarang sudah mulai melupakan tugas dan fungsinya. Belum lagi sibuknya serta kepadatan aktifitas akademik dimana hal ini selalu dijadikan alasan yang paling utama sehingga banyak hal penting yang juga harus menjadi prioritas lantas ditelantarkan.

Berbagai bentuk program pengkaderan yang ada saat ini juga cenderung menilai pengkaderan sebagai ajang formil yang perlu dilakukan sehingga penyampaian hal-hal yang bersifat idiologis serta hal yang bersifat lebih prinsip pun kemudian dilupakan. Ketika mahasiswa dihadapkan pada suatu realitas, maka mahasiswa cenderung reaksioner tanpa mempertimbangkan berbagai aspek yang sebenarnya terlebih dahulu diutamakan.

Perlu dipahami bahwa kondisi kekinian mencerminkan adanya perubahan pola pemikiran tentang “Paradigma Kritis” itu sendiri. Sebagian besar mahasiswa menganggap bahwa insan yang kritis adalah mereka yang berani menolak dan menentang berbagai kebijakan yang tidak Pro terhadap rakyat dengan menempuh cara apapun itu. Sikap berpikir yang general bahwa kekritisan itu mesti dituangkan dalam bentuk yang frontal sudah mendarah daging di benak kalangan aktivis mahasiswa sekarang ini. Pola pikir seperti ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk aksi demonstrasi yang frontal dan tak jarang berakhir bentrok dengan aparat. Hal ini yang kemudian disadari atau tidak berimbas pada menurunnya image mahasiswa sebagai masyarakat yang intelek. Sekali lagi kesalahan berfikir tentang makna kritis itu sendiri menjadi bumerang bagi mahasiswa. Hal ini disadari betul akan tambah parah akibatnya apabila tidak ada rekonstruksi atau perubahan pola pikir terhadap gerakan mahasiswa dalam hal ini pemaknaan kata “kritis” sebagai landasan bergerak. Belum lagi ditambah dengan pola penyampaian aspirasi yang monoton dan terkadang tidak mengindahkan aturan dan norma yang berlaku.

Ambil contoh, matinya gerakan mahasiswa di kota Makassar khususnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNHAS dipengaruhi oleh faktor kesalahan berfikir akan makna kritis dan minimnya inovasi dalam membentuk pola gerakan yang efektif. Setiap aksi demonstrasi, kita hanya disuguhkan oleh varian aksi yang kurang berbobot. Misalnya saja penyampaian aspirasi yang hanya disampaikan melalui orasi ilmiah tanpa ada manuver lain agar penyampaian aspirasi itu cepat dan tepat pada sasaran. Kita terlalu puas dengan orasi yang berapi-api sementara faktor lain terkadang disepelekan. Fungsi dan peran negosiator yang semestinya juga memegang peranan vital kadang kala hanya menjadi opsi terakhir untuk mendapatkan output perjuangan.

Sikap pragmatis yang terus-menerus menghinggapi perilaku mahasiswa masa kini juga terbukti bagaimana mahasiswa dalam hal ini belum bisa meletakkan posisinya pada hal yang ideal. Maka sebenarnya bagaimana kehidupan dan aktifitas apa yang sebenarnya perlu dilakukan oleh para mahasiswa sehingga mahasiswa kembali kepada jalur dan koridor yang ideal sesuai dengan tugas, fungsi serta peranannya mengingat mahasiswa adalah insan akdemis yang merupakan abdi masyarakat dan Negara serta agamanya. Kampus yang hari ini dikatakan sebagai salah satu wadah yang mencetak aset ataupun generasi penerus bangsa dan kampus dikenal sebagai lembaga akademik yang juga berperan dalam mencetak berbagai tenaga ahli serta orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat di lingkungannya, sekarang sudah jauh dari makna yang ada.

Mahasiswa hari ini sebenarnya harus kembali disadarkan akan berbagai peran dan fungsinya. Salah satu yang harus dipahami bahwa mahasiswa adalah pusat dinamisasi gerakan suatu Negara. Hal lain yaitu mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dimana mahasiswa memiliki kemampuan dengan kemampuan intelektual, berpikir cerdas, serta sigap dalam berbagai kondisi memang seharusnya diharapkan untuk dapat memberikan perubahan yang signifikan, paling tidak pada lingkungan kampus dan lingkungan yang berada di dekatnya. Mahasiswa hari ini harus mampu menentukan orientasinya ke depan dengan berbagai pertimbangan tentunya serta mampu menyusun segala prioritas di dalam setiap tindakan sehingga target serta visi yang diharapkan dapat tercapai sesuai harapan. Hal ini tentunya bisa dilakukan dengan tanpa mengesampingkan pola yang dilakukan juga sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam pada falsafah Negara Indonesia.

Berbagai bentuk gerakan yang harus dilakukan oleh mahasiswa masa kini juga harus kembali pada hakikatnya yang mana ketika hari ini mahasiswa melakukan satu movement maka gerakan ini harus gerakan idiologis. Gerakan mahasiswa saat ini sudah saatnya untuk melakukan evaluasi terhadap gerakan yang telah dibangun untuk melahirkan revolusi. Kalau selama ini kita sudah melakukan gerakan yang mungkin menurut kita sudah memberikan sebuah pembelaan terhadap masyarakat tetapi dalam realitasnya masyarakat justru menganggap merugikan mereka. Perlu kita kaji ulang untuk mencari alternatif lain yang lebih aman dan pas kiranya agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat. Sebagai contoh misalnya ketika mahasiswa mengadakan aksi turun ke jalan membawa isu ingin membela kepentingan rakyat, yang seharusnya mahasiswa mendapat dukungan dari masyarakat, tapi yang terjadi malah sebaliknya mereka menganggap mahasiswa telah menghambat aktivitas mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan realita yang saya paparkan tadi, maka bisa ditarik sebuah kesimpulan sekaligus sebagai sebuah solusi untuk membuat gerakan mahasiswa kembali ke rel yang sebenarnya. Solusi yang saya maksud adalah perlunya pemahaman isu terhadap massa sebelum adanya pergerakan. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa pergerakan yang sifatnya reaksioner tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Maka dari itu kajian-kajian seputar isu-isu yang akan diangkat sebagai tema aksi sangat dibutuhkan. Massa yang sadar secara otomatis akan mampu mengendalikan diri masing-masing karena mereka dibekali dengan pemahaman isu sebelumnya, sehingga dalam jiwa mereka tertanam kemurnian dan ketulusan dalam berjuang. Perjuangan dan kekritisan yang berlandaskan dari pemahaman dan keikhlasan hati adalah ciri mahasiswa yang idealis dan mencerminkan sikap sebagai masyarakat intelegensia kampus.

Selain itu sebagai solusi terakhir sebaiknya dengan kaderisasi dan transfer nilai secara radikal kepada kader-kadernya sebagai penerus gerakan mahasiswa di masa yang akan datang. Kaderisasi yang maksimal adalah bagaimana bisa membuat generasi yang kritis secara sehat dan intelek. Perlu dicatat, solusi-solusi yang saya tawarkan, hanya akan bisa terealisasi jika paradigma berpikir kita tentang “kritis” itu sudah sesuai dengan makna sebenarnya dan untuk memahami esensi dari kata kritis itu bisa kita peroleh dengan memperbanyak kajian-kajian keilmuan yang nantinya akan menuntun kita menuju masyarakat kampus yang paham akan eksistensi keberadaannya. Mari kita tanggalkan ego dan sikap vandalisme menuju mahasiswa yang dewasa bukan saja dalam hal berpikir tapi juga dalam menjalankan fungsi dan peran seorang mahasiswa sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar