Sabtu, 06 Juli 2013

Catatan Getir Seorang “Aktivis Pinggiran”

Dulu, sewaktu saya masih kecil, saya selalu membayangkan gerakan mahasiswa (entah itu apa namanya) ibarat sepasukan tempur yang rela mempertaruhkan nyawa hanya demi sebuah keadilan sosial (social justice) yang dicita-citakan.

Memang, apa yang selalu saya bayangkan itu merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Mereka para mahasiswa yang tergabung dalam sebuah organisasi atau pergerakan, tak pernah lelah memperjuangkan keadilan dan menentang dengan keras sebuah rezim yang mereka sebut “otoriter”. Rezim Orde Baru setidaknya menjadi sample yang bisa membuktikan bagaimana gerakan mahasiswa pada waktu itu betul-betul bertaring dan ditakuti. Puncaknya, pada tahun 1998, gerakan mahasiswa mampu menggulingkan rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.

Rasa penasaran saya semakin bertambah. Dari yang awalnya hanya ingin tahu ihwal esensi dari sebuah gerakan, lama-kelamaan saya punya inisiatif untuk bergabung kelak ketika sudah sampai waktunya (menjadi mahasiswa). Saya berharap menjadi bagian dari mereka yang dulu selalu saya dengar pembelaan-pembelaan mereka terhadap rakyat kecil dan tertindas.

Akhirnya, saya memutuskan untuk bergabung dengan sebuah organisasi pergerakan ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kampus. Saya sangat senang. Ibarat sebuah mimpi yang betul-betul menjadi kenyataan. Saya berharap banyak di organisasi pergerakan yang saya masuki itu bisa mengikuti jejak-jejak para pendahulu yang telah menorehkan tinta emas bagi bangsa dan negara.

Tidak sampai beberapa bulan, saya “kecewa berat”. Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Bukan karena ada konflik (kepentingan) pribadi dengan teman-teman. Saya tidak merasakan hal itu. Justru yang membuat saya kecewa adalah karena persoalan “komitmen”. Kalau dulu saya melihat komitmen mahasiswa yang tergabung dalam sebuah pergerakan betul-betul berdasar atas kepentingan masyarakat yang selalu ditindas dan dibodoh-bodohi, saat ini saya justru melihat dan merasakan sesuatu yang berbeda. Mereka tak lagi memiliki komitmen luhur. Jangankan memiliki komitmen kebangsaan, berbicara ihwal esensi dari sebuah gerakan pun sebagian besar di antara mereka banyak yang tidak mengerti.

“Jengkel dan muak” ! Itulah barangkali bahasa yang sangat pas untuk menggambarkan perasaan saya. Apalagi ketika saya diminta sebuah tulisan oleh salah satu kawan aktivis pergerakan untuk dipublikasikan di sebuah Bulletin “edisi khusus”. Dengan senang hati saya memenuhi permintaan kawan saya tadi itu untuk menulis. Ini saatnya saya berefleksi ihwal esensi dari sebuah gerakan, pikirku. Akhirnya, saya menulis esai pendek yang secara langsung menyoroti situasi dan kondisi gerakan yang tak lagi kondusif. Dalam tulisan itu selain masalah komitmen kebangsaan yang saya soroti, saya juga menyinggung gejala “politik praktis” yang sudah sedemikian mewabah di lingkungan gerakan. Saya katakan bahwa organisasi pergerakan mahasiswa bukanlah medium pencarian karier politik. Ia tetap harus diposisikan pada ranah yang lebih murni dengan semangat kebangsaan sebagai basis gerakannya.

Setelah tulisan itu selesai saya buat, saya berharap kader-kader pergerakan di kampus lebih menyadari dan memaknai keberadaan dirinya di wilayah gerakan. Sebab asumsinya, pemahaman ihwal esensi dari sebuah gerakan pada gilirannya akan membawa roh perjuangan pada ranah yang lebih dipertanggungjawabkan. Bukan kemudian masuk gerakan hanya karena ingin “ngumpul” dan “kesepian”.

Saya tidak bermaksud meracuni siapa pun di antara mereka yang sudah “lama” atau bahkan “baru saja” masuk organisasi pergerakan. Sebab pada kenyataannya, banyak di antara kader-kader gerakan yang kapasitas intelektual mereka sungguh sangat memilukan. Hal ini mungkin tidak mengherankan karena mereka malas “baca buku”.

Itulah sebenarnya inti persoalan yang saya refleksikan dalam tulisan yang (rencananya) akan dipublikasikan pada edisi khusus tersebut. Tetapi sungguh di luar dugaan. Tulisan yang saya anggap sangat “spesial” itu tidak jadi dipublikasikan. Saya kaget. Saya minta klarifikasi dengan se-objektif mungkin kenapa kok tidak jadi dipublikasikan. Sebab saya buat tulisan itu bukan karena inisiatif saya sendiri. Justru mereka yang memohon dengan sangat kepada saya agar bersedia menulis tentang seputar gerakan mahasiswa.

Sebelum Bulletin itu diedarkan ke tengah-tengah mahasiswa, saya sempatkan diri saya untuk berbicara secara langsung dengan salah satu pengurus gerakan (bukan dengan crew Bulletin yang sama sekali tidak punya “hak”) terkait tulisan tersebut. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala setelah mendengar jawaban aneh: “Tulisanmu kena delete”.

Mendengar pernyataan itu, saya tidak banyak komentar. Saya cuma bilang “gak apa-apa” sembari dalam hati berucap “alhamdulillah”. Kejadian yang kurang meng-enakkan itu merupakan kenyataan yang sulit saya lupakan. Tidak hanya karena persoalan urung dipublikasikan. Tetapi pertama-tama karena persoalan etika: tak ada kata “maaf” sedikit pun yang muncul.

Saya kemudian hanya bisa berpikir dan bertanya-tanya: “jika organisasi pergerakan mahasiswa masih saja tidak mau melakukan kritik internal yang bersifat konstruktif, bagaimana mungkin mereka yang berkecimpung di dalamnya mampu menunjukkan jati dirinya sebagai mahasiswa dan kader pergerakan yang militan dan progresif? Ah, idealisme yang hanya angan-angan kosong belaka”!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar