Senin, 07 April 2014

TUHAN.. Aku Menulis

Aku menulis untuk sebaris kata yang kurangkai membentuk kalimat-kalimat yang mengalir dari bahasa kalbu, disana ada nelangsa yang jauh dari hingar bingar tangisan jiwa yang sebelumnya pernah bermain dengan celoteh-celoteh kecil bebatuan dengan kikisan air dari puncak hulu kehidupan. Aku telah terbangun dari malam panjang yang mengharap mimpi dapat membasuh kalbu dengan tetesan air matanya, dan bibirnya membelai telinga dengan bahasa-bahasa keagungan.

Dan aku mulai melangkah menuju sebuah jendela kecil untuk menelanjangi senja yang menyuguhkan bening embun. Dia dari kejauhan menari bersama biasan air dari bebatuan yang menyejukkan jiwanya sembari berkata “Tuhan aku ingin berjalan, karena aku telah menemukan secarik harapan dari jiwa yang malam dan senjanya hanya menatap mimpi dari jendela kecil untuk meminta secuil kedamaian dari-Mu, karena itu izinkan aku untuk berjalan”.

Tuhan.. dia telah berkata kepada-Mu, dan aku berkata Kepada-Mu, “aku hanya ingin bermimpi tentang taman-taman firdaus yang dapat menenangkan jiwaku, didalamnya ditumbuhi bunga-bunga yang dari kejauhan menampakkan wajahnya yang terbangun dari pesakitan, dan aku menginginkan kepedihannya berlalu mengikuti jeritan tangis yang mengarah pada lembah-lembah kemarau, dan gelak tawa kebahagiaan dapat memecah keheningannya”.

Celotehnya mengingatkanku tentang bait-bait hidup yang telah dilaluinya, jalannya hanya menampakkan rona-rona kepedihan, dan jalan-jalan kecil dengan kerikil tajam telah menembus kakinya yang mungil. Tuhan.. aku telah banyak menyaksikan kepedihan di jalan-jalan dari pagi hingga malam kembali menyapa, tentang sekumpulan anak kecil yang sedang asyik bermain dengan debu-debu jalan dengan harapan sekeping koin dapat mengisi perut kosong mereka, dan seorang kakek yang luluh lantah dan kurus mengayuh sepeda untuk anak istri dan cucu dengan punggung terbakar mata kemarau, kecintaanku telah kuberikan buat mereka, dan buat dia yang telah mengangkatku dari gubangan lumpur kepedihan, dan menghangatkan jiwaku dari pelukan malam yang membekukan rasa, ku ingin berdoa Kepada-Mu Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Cinta buat ia menjadi insan yang mencintai cintanya dan menyayangi penyayangnya serta mengasihi kekasihnya, karena aku bagian dari ketiganya.

Tuhan.. aku telah berdosa kepadanya karena kelemahanku, aku hanya manusia yang selalu bermain dengan gubangan dosa sehingga aku takut akan ketidak-mampuanku menghangatkan jiwanya dari genggaman malam, ketidak-mampuanku untuk menghiburnya dari kepedihan yang selalu menyelimuti jiwanya, ketidak-mampuanku mengusir gelap dalam jiwanya yang tak satu pun cahaya meneranginya, serta ketidak-mampuanku menulis cerita kecil tentang kebahagiaan dalam jiwanya dari cerita kecil masa lalu nan kelam yang menghantuinya hingga sekarang. Tuhan.. Namun, aku tidak takut meminta setitik zahra cinta-Mu untuk kuberikan padanya karena aku ingin selalu mencintai dan menyayanginya, Tuhan.. aku akan selalu meminta, karena Engkau Maha Cinta dan Maha Pemberi.

Rabu, 01 Januari 2014

Barometer Mahasiswa Sebagai Kaum Akademis : Kepenelitian dan Kepenulisan di Kalangan Mahasiswa

Mahasiswa merupakan seorang yang belajar di suatu perguruan tinggi, entah itu berupa Sekolah Tinggi, Universitas, Institut, Politeknik maupun Akademi. Julukan kaum terpelajar atau kaum akademik selalu melekat pada mahasiswa. Hal ini dikarenakan mahasiswa tidak akan bisa lepas dari dunia keilmuan. Bagaimana tidak, seorang mahasiswa selalu dituntut untuk mendalami keilmuan dan mengembangkan dirinya di bidangnya masing-masing. Melalui bentuk proses seperti : budaya kajian, diskusi, kepenulisan, penelitian, penalararan dan lain-lain yang berbau ilmiah, seorang mahasiswa dapat mengembangkan dan mendalami  keilmuan, dari situlah proses peningkatkan kemampuan intelektualitas terkonstruk. Jiwa intelek inilah yang harus menjadi karakter tersendiri bagi mahasiswa. Mahasiswa identik dengan hal ilmiah maka pantas jika julukan kaum intelek terakomodir dalam diri mahasiswa.

Banyak sebenarnya budaya mahasiswa sebagai kaum intelek, namun hal yang urgent dari budaya ilmiah itu diantaranya Kepenelitian dan Kepenulisan. Penelitian merupakan kegiatan ilmiah melalui proses research artinya perlu adanya pengamatan, dan proses analisis tajam agar mendapatkan hasil yang benar-benar valid dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary yang mengatakan bahwa penelitian adalah penyidikan atau pemeriksaan bersungguh-sungguh, khususnya investigasi atau eksperimen yang bertujuan menemukan dan menafsirkan fakta, revisi atas teori atau dalil yang telah diterima. Kegiatan penelitian ini dirasa sangat perlu bagi mahasiswa karena penelitian merupakan produk akhir dari intelektualitas dan wahana pertanggungjawaban terhadap disiplin ilmu yang dimiliki mahasiswa.

Bagi mayoritas mahasiswa penelitian dilakukan ketika menjalankan tugas akhir S-1 yang disebut skripsi. Hal ini dilakukan karena merupakan sebuah tuntutan jika ingin menjadi sarjana sebagai bentuk aktualisasi jati diri mahasiswa sebagai insan akademik intelektualis. Tak hanya selalu dilakukan pada saat akan skripsi saja sesungguhnya kegiatan seperti ini. Namun bisa juga dilakukan kapan saja demi menumbuhkembangkan perkembangan ilmiah mahasiswa. Hal ini tidak lepas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu : Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat. Yang perlu digarisbawahi adalah penelitian sebagai bentuk aktualisasi kinerja ilmiah dan pertanggungjawaban disiplin ilmu dan pengembangan pada tiap mahasiswa agar menjadi jati diri mahasiswa yang sesungguhnya bukan hanya titlenya saja yang “Mahasiswa”.

Hal kedua yang mem-budaya di kalangan mahasiswa yaitu menulis. Menulis merupakan kegiatan yang memiliki urgensi sebagai wahana aspiratif seseorang. Kepenulisan ada kalanya Fiksi (Non Ilmiah) dan Non Fiksi (Ilmiah). Karya tulis fiksi bisa berupa cerpen, puisi dll, karya tulis non fiksi biasanya berupa karangan hasil dari research atau penelitian namun ada juga karya non fiksi yang timbul dari penalaran, atau opini seseorang seperti artikel, essay, opini dll. Tak ubahnya seperti penelitian menulis juga merupakan salah satu dari budaya mahasiswa sebagai ajang peng-eksplorasi pemikiran dan pendapat entah itu berupa karangan ilmiah maupun ilmiah. Tidak bisa pungkiri kegiatan menuangkan pena di atas kertas ini harus terlekat juga pada diri mahasiswa hal ini tidak lepas dari jati diri mahasiswa sebagai kaum intelek. Menjadikan karya tulis sebagai wahana berkarya baik dalam kegiatan akademik maupun non akademik. Seiring dengan jati dirinya sebagai kaum akademik maka mahasiswa dituntut mampu membuat karya ilmiah entah apapun itu asalkan masuk dalam dunia kepenulisan.

Perubahan zaman memicu perubahan sosial, antropologis mahasiswa. Seperti yang dikemukakan M. Hasanudin Wahid seorang aktifis nasional dan pakar politisi sekaligus dewan ahli DPR-RI, hasil riset membuktikan 25 % mahasiswa Indonesia yang kegiatannya Kuliah, Perpustakaan, Diskusi dan apapun yang berbau ilmiah beliau menyebut mahasiswa ini sebagai “idealis oriented”, dan sisanya, 75% mahasiswa yang kehidupannya kuliah, warung kopi, kantin, kos dan kegiatan akademik nya hanya dienyam di bangku kuliah saja itu pun kadang kala ada yang tidak serius dalam mengikutinya, beliau menyebut mahasiswa ini sebagai “hedonis oriented”. Hal ini membuktikan lunturnya budaya ilmiah mahasiswa. Lalu dimanakah jati dirinya sebagai insan yang akademik dan intelektual. Sangat miris jika perbedaan antara “idealis oriented” lebih kecil persentase nya dibandingkan “hedonis oriented”.

Kehidupan foya-foya telah meracuni mahasiswa sebagai kaum intelektual. Bagaimana pun keadaannya, budaya-budaya ilmiah harus tetap terjaga dalam tiap diri mahasiswa untuk menumbuhkembangkan kembali jati diri mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang sesungguhnya, menjadi “maha” nya para siswa atau orang yang menuntut ilmu dan dapat kembali mengamalkan tri darma perguruan tinggi.

Agar tidak terpengaruh pengaruh budaya-budaya ekstrim yang dapat merusak sistem jati diri sebagai mahasiswa sebenarnya banyak solusi untuk menjaganya. Berkumpul dengan orang-orang yang konglomerat dalam bidang keilmuan berarti menjaga diri agar tidak terpengaruh dari pengaruh budaya hedonisme oriented.  Seperti kata dosen saya“Empat tahun ke depan kamu akan tetap seperti ini kecuali tiga : dengan siapa kamu berteman? buku apa yang kamu baca? dan apa yang kamu lakukan?”.  Kata-kata itu seolah menginspirasi saya untuk berkembang bukan hanya ilmu yang perlu dicari akan tetapi proses pengembangan diri tak kalah pentingnnya dengan mencari ilmu.

Mulai dari sekarang mari belajar menjadi seorang yang benar-benar Mahasiswa, menjadi Maha-nya para siswa, dan mulai mengembangkan diri agar jati diri seorang mahasiswa dapat tertanam. Maka pentingnya bergelut dalam bidang kepenelitian dan kepenulisan sebagai media penanaman nilai akademisi sebagai kaum intelektual harus kembali tertanamkan. Hal ini harus kembali membudaya dan perlu kembali dibudidayakan sebagai bentuk aktualisasi insan akademik berkarakter intelektual yang merupakan wujud dari kreasi pemuda zaman sekarang.

EKSISTENSI MAHASISWA DI TENGAH DINAMIKA KEBANGSAAN DAN WAJAH BARU PENDIDIKAN KITA

Sumpah Mahasiswa Indonesia, itulah yang menjadi asas kehidupan kaum intelek muda negeri ini. Sebuah penegasan yang berisi ikrar akan prinsip hidup seorang mahasiswa sejati. Penegasan dan sikap mahasiswa terhadap bangsa dan Negara nya yang sekaligus sebagai asas dan pedoman perjuangan mahasiswa dalam mengawal berbagai permasalahan bangsa secara umum dan problematika kampus secara khusus. Merinding tentu saja bagi yang betul-betul menghayati arti dan makna dari ikrar ini, tapi bukan tidak mungkin akan terkesan biasa-biasa saja di telinga orang-orang yang belum menemukan jati diri kemahasiswaannya.

Ada tiga hal yang menjadi sorotan penegasan mahasiswa Indonesia dalam ikrarnya, yakni tanah air tanpa penindasan, bangsa yang gandrung akan keadilan, dan bangsa yang berbahasa satu yaitu bahasa tanpa kebohongan. Ketiga aspek ini juga mewakili tugas dan fungsi mahasiswa sebagai agent of changemoral force, dan social control. Sinkronisasi antara ikrar dan fungsi serta tugas mahasiswa inilah yang menuntut mahasiswa untuk lebih memiliki jiwa kepekaan sosial yang tinggi. Bukan hanya berbuat yang terbaik buat pribadinya tapi terlebih lagi untuk bangsa nya. Apalagi jika mencermati kondisi kekinian bangsa dan negara kita yang semakin tak jelas arahnya.

Rezim pemerintahan SBY-Boediono dianggap gagal oleh banyak kalangan. Pemerintahan yang bersih dan demokratis disinyalir hanyalah impian belaka. Bangsa kita sudah terlalu jauh keluar dari rel yang semestinya. Berbagai kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, korupsi yang semakin merajalela sampai pada praktek mafia di dunia hukum yang sudah membudaya. Aspirasi rakyat kecil seolah-olah hanyalah nyanyian yang semakin membuat wakil-wakil rakyat kita tertidur dalam singgasana ruangan kerja nan mewahnya.

Sedikit menghubungkan antara kondisi realitas kebangsaan dengan harapan yang tertuang dalam ikrar Sumpah Mahasiswa Indonesia, mungkin pembaca sepakat dengan saya untuk mengatakan masih agak jauh dari yang semestinya diharapkan. Pertama, menyinggung masalah tanah air tanpa penindasan. Tanpa penindasan berarti tanpa perampasan hak-hak kemanusiaan. Namun kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai kasus perampasan tanah, kekerasan agraria, dan beberapa kasus pelanggaran HAM. Kedua, terkait dengan bangsa yang menjunjung tinggi keadilan. Keadilan sosial yang juga merupakan amanat dari pembukaan UUD 1945 seolah tak mendapat prioritas dinegeri ini. Hukum dengan begitu mudahnya diperjualbelikan di negara yang notabene nya adalah negara hukum. Belum lagi menyinggung masalah korupsi yang seolah sudah menjadi hegemoni di negara kita. Ketiga, bangsa yang berbahasa tanpa bahasa kebohongan. Mungkin kita semua maklum bahwa negara kita adalah negara yang identik dengan kehidupan sinetron. Terlalu banyak kepura-puraan dan sandiwara yang dipertontonkan khususnya wakil-wakil rakyat kita. Tidak konsisten dalam berprinsip dan tidak teguh pada pendirian dan peraturan sudah menjadi kebiasaan yang lumrah di kalangan penguasa negeri ini. Negara kita tak ubahnya adalah sebuah panggung sandiwara dan rakyat disulap menjadi seorang penonton setia.

Berbicara dalam lingkup dunia pendidikan, kita tak boleh menutup mata terhadap bentuk radikal kampus dan dinamika nya yang menjadi wajah baru pendidikan kita sekarang ini. Fungsi kampus sebagai institusi formal penyedia tenaga kerja siap pakai lebih berorientasi pada kebutuhan pasar kerja ketimbang berkonsentrasi pada kualitas manusia yang di-didik-nya dan seberapa dalam pemahaman mereka terhadap masyarakat sekitarnya. Orientasi ini semata-mata untuk meningkatkan nilai jual universitas di mata konsumen dalam hal ini masyarakat yang ingin memperoleh pendidikan.

Demi memapankan posisinya dalam konfigurasi ekonomi global, perguruan tinggi di Indonesia juga harus mengadopsi aturan main yang cepat atau lambat harus mereka patuhi. Prinsip-prinsip ekonomi kapitalisme disuntikkan dalam tubuh universitas guna memapankan sistem ekonomi yang telah menguasai hampir seluruh dunia ini. Demi memastikan efektifitas proses produksi sarjana serta peningkatan daya jual dan daya saing produknya di pasaran, pihak kampus melakukan berbagai perubahan radikal di dalam tubuh universitas dimana mahasiswa merupakan objek sentral dalam proses perubahan tersebut menuju bentuk baru yang sesuai dengan tuntutan sistem ekonomi modern.

Nah, selanjutnya bagaimana eksistensi mahasiswa dalam mengawal berbagai dinamika kebangsaan dan wajah baru pendidikan kita khususnya untuk mewujudkan tujuan dari ikrar Sumpah Mahasiswa Indonesia itu sendiri? Seperti kita ketahui bahwa kondisi perjuangan mahasiswa sekarang ini memang mengalami berbagai masalah dan problematika di lapangan. Dari segi internal kampus, adanya pengekangan kreatifitas mahasiswa serta ancaman bagi para mahasiswa yang kritis tentunya dianggap sebagai faktor melemahnya pergerakan mahasiswa dewasa ini. Status kemahasiswaan pun terkadang dipertaruhkan hanya untuk mengeluarkan sepatah kata perjuangan. Ironis memang, ketika bangsa ini sedang sakit dan membutuhkan pemikiran-pemikiran kritis generasi muda namun di saat bersamaan itu pula pengekangan terhadap kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat justru semakin membudaya di institusi kampus negeri ini yang notabene nya adalah gudang nya calon intelek muda.

Terlepas dari semua permasalan di atas, kita harus tetap bangga bahwa bangsa kita adalah bangsa yang besar dan itu tak lepas dari peranan generasi muda terutama mahasiswa. Masa depan dunia pendidikan dan tentunya masa depan bangsa kita ada di pundak kita semua. Mahasiswa sebagai agen perubahan sudah seharusnya berpartisipasi aktif dalam pembangunan kebangsaan sebagai pengejawantahan dari tugas dan tanggung jawab sosial mereka. Tugas dan tanggung jawab yang diemban mahasiswa sangat lah berat dalam membawa bangsa ini mengarungi percaturan dunia globalisasi. Kalah melangkah berarti akan tertinggal selamanya. Mahasiswa bersiaplah, masa depan bangsa dan negara bergantung pada langkah dan perubahan yang kita lakukan.

REKONSTRUKSI PARADIGMA KRITIS DALAM PERGERAKAN MAHASISWA

Sejarah mencatat peran mahasiswa dalam fungsinya sebagai agent of change dan social control dalam kehidupan bermasyarakat, menempatkan mahasiswa sebagai basis intelektual menuju masa depan yang cerah. Peran mahasiswa yang realistis dalam berbangsa dan bernegara telah terukir dalam sejarah Indonesia. Pada hakikatnya, Mahasiswa tidak pernah lepas dari sisi kehidupan yang kritis. Dalam sejarah,  semua pergerakan mahasiswa dilandasi oleh naluri dan cara berpikir yang kritis. Mengapa demikian ? Kita semua mungkin mengetahui keberadaan mahasiswa sebagai salah satu bagian dari masyarakat. Hal ini mengharuskan mahasiswa untuk bisa masuk berpartisipasi dan mengembangkan ilmunya ke masyarakat dan lingkungannya. Mahasiswa diharapkan sebagai pencetus ide sekaligus eksekutor dari idenya, yang kemudian akan berpengaruh pada perubahan budaya, keadaan, atau sistem.

Perubahan bisa terjadi pada segala segi termasuk pola pikir dan pola perilaku. Mahasiswa dalam posisi agent of change dituntut untuk mengimplikasikan segala macam sikap, perilaku, dan pikirannya dalam sebuah bentuk konkrit bukan sesuatu yang abstrak. Menuangkan ide-ide kreatif untuk bisa dimanfaatkan oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Apa yang perlu diperbaiki dari yang sudah ada, atau melakukan perubahan yang bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Mahasiswa sebagai insan akademis, pencipta serta pengabdi masyarakat yang tentunya merupakan aset besar Negara di masa depan pada era sekarang sepertinya telah kehilangan arah gerakan khusunya dalam menentukan orientasi sebagaimana hakikat yang seharusnya. Hal ini sebenarnya bila kita teliti lebih jauh, mahasiswa di era sekarang sudah mulai melupakan tugas dan fungsinya. Belum lagi sibuknya serta kepadatan aktifitas akademik dimana hal ini selalu dijadikan alasan yang paling utama sehingga banyak hal penting yang juga harus menjadi prioritas lantas ditelantarkan.

Berbagai bentuk program pengkaderan yang ada saat ini juga cenderung menilai pengkaderan sebagai ajang formil yang perlu dilakukan sehingga penyampaian hal-hal yang bersifat idiologis serta hal yang bersifat lebih prinsip pun kemudian dilupakan. Ketika mahasiswa dihadapkan pada suatu realitas, maka mahasiswa cenderung reaksioner tanpa mempertimbangkan berbagai aspek yang sebenarnya terlebih dahulu diutamakan.

Perlu dipahami bahwa kondisi kekinian mencerminkan adanya perubahan pola pemikiran tentang “Paradigma Kritis” itu sendiri. Sebagian besar mahasiswa menganggap bahwa insan yang kritis adalah mereka yang berani menolak dan menentang berbagai kebijakan yang tidak Pro terhadap rakyat dengan menempuh cara apapun itu. Sikap berpikir yang general bahwa kekritisan itu mesti dituangkan dalam bentuk yang frontal sudah mendarah daging di benak kalangan aktivis mahasiswa sekarang ini. Pola pikir seperti ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk aksi demonstrasi yang frontal dan tak jarang berakhir bentrok dengan aparat. Hal ini yang kemudian disadari atau tidak berimbas pada menurunnya image mahasiswa sebagai masyarakat yang intelek. Sekali lagi kesalahan berfikir tentang makna kritis itu sendiri menjadi bumerang bagi mahasiswa. Hal ini disadari betul akan tambah parah akibatnya apabila tidak ada rekonstruksi atau perubahan pola pikir terhadap gerakan mahasiswa dalam hal ini pemaknaan kata “kritis” sebagai landasan bergerak. Belum lagi ditambah dengan pola penyampaian aspirasi yang monoton dan terkadang tidak mengindahkan aturan dan norma yang berlaku.

Ambil contoh, matinya gerakan mahasiswa di kota Makassar khususnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNHAS dipengaruhi oleh faktor kesalahan berfikir akan makna kritis dan minimnya inovasi dalam membentuk pola gerakan yang efektif. Setiap aksi demonstrasi, kita hanya disuguhkan oleh varian aksi yang kurang berbobot. Misalnya saja penyampaian aspirasi yang hanya disampaikan melalui orasi ilmiah tanpa ada manuver lain agar penyampaian aspirasi itu cepat dan tepat pada sasaran. Kita terlalu puas dengan orasi yang berapi-api sementara faktor lain terkadang disepelekan. Fungsi dan peran negosiator yang semestinya juga memegang peranan vital kadang kala hanya menjadi opsi terakhir untuk mendapatkan output perjuangan.

Sikap pragmatis yang terus-menerus menghinggapi perilaku mahasiswa masa kini juga terbukti bagaimana mahasiswa dalam hal ini belum bisa meletakkan posisinya pada hal yang ideal. Maka sebenarnya bagaimana kehidupan dan aktifitas apa yang sebenarnya perlu dilakukan oleh para mahasiswa sehingga mahasiswa kembali kepada jalur dan koridor yang ideal sesuai dengan tugas, fungsi serta peranannya mengingat mahasiswa adalah insan akdemis yang merupakan abdi masyarakat dan Negara serta agamanya. Kampus yang hari ini dikatakan sebagai salah satu wadah yang mencetak aset ataupun generasi penerus bangsa dan kampus dikenal sebagai lembaga akademik yang juga berperan dalam mencetak berbagai tenaga ahli serta orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat di lingkungannya, sekarang sudah jauh dari makna yang ada.

Mahasiswa hari ini sebenarnya harus kembali disadarkan akan berbagai peran dan fungsinya. Salah satu yang harus dipahami bahwa mahasiswa adalah pusat dinamisasi gerakan suatu Negara. Hal lain yaitu mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dimana mahasiswa memiliki kemampuan dengan kemampuan intelektual, berpikir cerdas, serta sigap dalam berbagai kondisi memang seharusnya diharapkan untuk dapat memberikan perubahan yang signifikan, paling tidak pada lingkungan kampus dan lingkungan yang berada di dekatnya. Mahasiswa hari ini harus mampu menentukan orientasinya ke depan dengan berbagai pertimbangan tentunya serta mampu menyusun segala prioritas di dalam setiap tindakan sehingga target serta visi yang diharapkan dapat tercapai sesuai harapan. Hal ini tentunya bisa dilakukan dengan tanpa mengesampingkan pola yang dilakukan juga sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam pada falsafah Negara Indonesia.

Berbagai bentuk gerakan yang harus dilakukan oleh mahasiswa masa kini juga harus kembali pada hakikatnya yang mana ketika hari ini mahasiswa melakukan satu movement maka gerakan ini harus gerakan idiologis. Gerakan mahasiswa saat ini sudah saatnya untuk melakukan evaluasi terhadap gerakan yang telah dibangun untuk melahirkan revolusi. Kalau selama ini kita sudah melakukan gerakan yang mungkin menurut kita sudah memberikan sebuah pembelaan terhadap masyarakat tetapi dalam realitasnya masyarakat justru menganggap merugikan mereka. Perlu kita kaji ulang untuk mencari alternatif lain yang lebih aman dan pas kiranya agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat. Sebagai contoh misalnya ketika mahasiswa mengadakan aksi turun ke jalan membawa isu ingin membela kepentingan rakyat, yang seharusnya mahasiswa mendapat dukungan dari masyarakat, tapi yang terjadi malah sebaliknya mereka menganggap mahasiswa telah menghambat aktivitas mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan realita yang saya paparkan tadi, maka bisa ditarik sebuah kesimpulan sekaligus sebagai sebuah solusi untuk membuat gerakan mahasiswa kembali ke rel yang sebenarnya. Solusi yang saya maksud adalah perlunya pemahaman isu terhadap massa sebelum adanya pergerakan. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa pergerakan yang sifatnya reaksioner tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Maka dari itu kajian-kajian seputar isu-isu yang akan diangkat sebagai tema aksi sangat dibutuhkan. Massa yang sadar secara otomatis akan mampu mengendalikan diri masing-masing karena mereka dibekali dengan pemahaman isu sebelumnya, sehingga dalam jiwa mereka tertanam kemurnian dan ketulusan dalam berjuang. Perjuangan dan kekritisan yang berlandaskan dari pemahaman dan keikhlasan hati adalah ciri mahasiswa yang idealis dan mencerminkan sikap sebagai masyarakat intelegensia kampus.

Selain itu sebagai solusi terakhir sebaiknya dengan kaderisasi dan transfer nilai secara radikal kepada kader-kadernya sebagai penerus gerakan mahasiswa di masa yang akan datang. Kaderisasi yang maksimal adalah bagaimana bisa membuat generasi yang kritis secara sehat dan intelek. Perlu dicatat, solusi-solusi yang saya tawarkan, hanya akan bisa terealisasi jika paradigma berpikir kita tentang “kritis” itu sudah sesuai dengan makna sebenarnya dan untuk memahami esensi dari kata kritis itu bisa kita peroleh dengan memperbanyak kajian-kajian keilmuan yang nantinya akan menuntun kita menuju masyarakat kampus yang paham akan eksistensi keberadaannya. Mari kita tanggalkan ego dan sikap vandalisme menuju mahasiswa yang dewasa bukan saja dalam hal berpikir tapi juga dalam menjalankan fungsi dan peran seorang mahasiswa sejati.

Sabtu, 06 Juli 2013

Catatan Getir Seorang “Aktivis Pinggiran”

Dulu, sewaktu saya masih kecil, saya selalu membayangkan gerakan mahasiswa (entah itu apa namanya) ibarat sepasukan tempur yang rela mempertaruhkan nyawa hanya demi sebuah keadilan sosial (social justice) yang dicita-citakan.

Memang, apa yang selalu saya bayangkan itu merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Mereka para mahasiswa yang tergabung dalam sebuah organisasi atau pergerakan, tak pernah lelah memperjuangkan keadilan dan menentang dengan keras sebuah rezim yang mereka sebut “otoriter”. Rezim Orde Baru setidaknya menjadi sample yang bisa membuktikan bagaimana gerakan mahasiswa pada waktu itu betul-betul bertaring dan ditakuti. Puncaknya, pada tahun 1998, gerakan mahasiswa mampu menggulingkan rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.

Rasa penasaran saya semakin bertambah. Dari yang awalnya hanya ingin tahu ihwal esensi dari sebuah gerakan, lama-kelamaan saya punya inisiatif untuk bergabung kelak ketika sudah sampai waktunya (menjadi mahasiswa). Saya berharap menjadi bagian dari mereka yang dulu selalu saya dengar pembelaan-pembelaan mereka terhadap rakyat kecil dan tertindas.

Akhirnya, saya memutuskan untuk bergabung dengan sebuah organisasi pergerakan ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kampus. Saya sangat senang. Ibarat sebuah mimpi yang betul-betul menjadi kenyataan. Saya berharap banyak di organisasi pergerakan yang saya masuki itu bisa mengikuti jejak-jejak para pendahulu yang telah menorehkan tinta emas bagi bangsa dan negara.

Tidak sampai beberapa bulan, saya “kecewa berat”. Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Bukan karena ada konflik (kepentingan) pribadi dengan teman-teman. Saya tidak merasakan hal itu. Justru yang membuat saya kecewa adalah karena persoalan “komitmen”. Kalau dulu saya melihat komitmen mahasiswa yang tergabung dalam sebuah pergerakan betul-betul berdasar atas kepentingan masyarakat yang selalu ditindas dan dibodoh-bodohi, saat ini saya justru melihat dan merasakan sesuatu yang berbeda. Mereka tak lagi memiliki komitmen luhur. Jangankan memiliki komitmen kebangsaan, berbicara ihwal esensi dari sebuah gerakan pun sebagian besar di antara mereka banyak yang tidak mengerti.

“Jengkel dan muak” ! Itulah barangkali bahasa yang sangat pas untuk menggambarkan perasaan saya. Apalagi ketika saya diminta sebuah tulisan oleh salah satu kawan aktivis pergerakan untuk dipublikasikan di sebuah Bulletin “edisi khusus”. Dengan senang hati saya memenuhi permintaan kawan saya tadi itu untuk menulis. Ini saatnya saya berefleksi ihwal esensi dari sebuah gerakan, pikirku. Akhirnya, saya menulis esai pendek yang secara langsung menyoroti situasi dan kondisi gerakan yang tak lagi kondusif. Dalam tulisan itu selain masalah komitmen kebangsaan yang saya soroti, saya juga menyinggung gejala “politik praktis” yang sudah sedemikian mewabah di lingkungan gerakan. Saya katakan bahwa organisasi pergerakan mahasiswa bukanlah medium pencarian karier politik. Ia tetap harus diposisikan pada ranah yang lebih murni dengan semangat kebangsaan sebagai basis gerakannya.

Setelah tulisan itu selesai saya buat, saya berharap kader-kader pergerakan di kampus lebih menyadari dan memaknai keberadaan dirinya di wilayah gerakan. Sebab asumsinya, pemahaman ihwal esensi dari sebuah gerakan pada gilirannya akan membawa roh perjuangan pada ranah yang lebih dipertanggungjawabkan. Bukan kemudian masuk gerakan hanya karena ingin “ngumpul” dan “kesepian”.

Saya tidak bermaksud meracuni siapa pun di antara mereka yang sudah “lama” atau bahkan “baru saja” masuk organisasi pergerakan. Sebab pada kenyataannya, banyak di antara kader-kader gerakan yang kapasitas intelektual mereka sungguh sangat memilukan. Hal ini mungkin tidak mengherankan karena mereka malas “baca buku”.

Itulah sebenarnya inti persoalan yang saya refleksikan dalam tulisan yang (rencananya) akan dipublikasikan pada edisi khusus tersebut. Tetapi sungguh di luar dugaan. Tulisan yang saya anggap sangat “spesial” itu tidak jadi dipublikasikan. Saya kaget. Saya minta klarifikasi dengan se-objektif mungkin kenapa kok tidak jadi dipublikasikan. Sebab saya buat tulisan itu bukan karena inisiatif saya sendiri. Justru mereka yang memohon dengan sangat kepada saya agar bersedia menulis tentang seputar gerakan mahasiswa.

Sebelum Bulletin itu diedarkan ke tengah-tengah mahasiswa, saya sempatkan diri saya untuk berbicara secara langsung dengan salah satu pengurus gerakan (bukan dengan crew Bulletin yang sama sekali tidak punya “hak”) terkait tulisan tersebut. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala setelah mendengar jawaban aneh: “Tulisanmu kena delete”.

Mendengar pernyataan itu, saya tidak banyak komentar. Saya cuma bilang “gak apa-apa” sembari dalam hati berucap “alhamdulillah”. Kejadian yang kurang meng-enakkan itu merupakan kenyataan yang sulit saya lupakan. Tidak hanya karena persoalan urung dipublikasikan. Tetapi pertama-tama karena persoalan etika: tak ada kata “maaf” sedikit pun yang muncul.

Saya kemudian hanya bisa berpikir dan bertanya-tanya: “jika organisasi pergerakan mahasiswa masih saja tidak mau melakukan kritik internal yang bersifat konstruktif, bagaimana mungkin mereka yang berkecimpung di dalamnya mampu menunjukkan jati dirinya sebagai mahasiswa dan kader pergerakan yang militan dan progresif? Ah, idealisme yang hanya angan-angan kosong belaka”!

Aku Hari InI (Pendidikan)

(Terinspirasi dari Buku Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah)

Aku  Pencipta Kaum Intelek
Aku Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Aku Bukanlah Manusia
Aku Hanyalah Sebuah Kata
Tetapi Dapat Memanusiakan Manusia

Tetapi Kini...
Fajar Pagi Tampak Lesu
Goresan Pena Menyayat Kalbu
Inilah Kisah Tentangku
Yang Menangisi Nasib Bangsaku

Aku Sekarang Hanya Alat Pemuas
Mengisi Perut Kaum Beringas
Yang Dapat Dijangkau Orang Berkelas
Bukan Lagi Pencipta Orang Berkualitas

Aku Bingung Aku Resah
Dimanakah Letak Salahnya
Sudah Sekolah Sudah Kuliah
Keluar-keluar Kok Malah Jadi Lintah

Nasibku Hari Ini Sungguh Sadis
Tak Tersentuh Oleh Mereka Yang Minoris
Seandainya Ada Pemimpin Menangis
Pasti Mereka Dapat Baca Tulis

Senin, 20 Mei 2013

Kekosongan Idealisme

Terkadang sebuah pikiran dengan banyak kebingungan itu menyenangkan..
Seperti kepingan parcel yang harus disusun dengan ketelitian..
Membutuhkan tenaga, hati dan pikiran untuk terus mencari parcel yang benar..
Kadang karena kebingungan itu, kita lupa siapa sang pemberi pikiran itu..
Banyak sekali waktu yang dihabiskan untuk menikmati pikiran sendiri..
Tapi hanya untuk bercengkrama dan meluapkan semuanya kepada sang pemberi pikiran, rasanya waktu itu menjadi sangat singkat..
Insting seseorang terus termakan oleh idealisme tanpa batas..
Berusaha mengerti yang seharusnya cukup untuk diketahui..
Tapi tidak berusaha mengerti sebuah tanggung jawab keimanan yang menjadi kekuatan dan dasar untuk semua pemikiran idealis yang ada..
Terlalu dalam memikirkan semua hal-hal klasik tak berujung..
Hanya bisa meneriakkan aspirasi dan jiwa sosial tanpa resalisasi..
Sebuah keimanan yang hanya dijadikan topeng kemunafikan dengan beribu alasan basi para pembual..
Cukup tau negara ini begitu kotor dengan darah kehancuran dan kepentingan tak berdasar..
Mungkin tempat dimana sebuah harapan dan impian digantung hanya menjadi persinggahan tak berarti..